Minggu, 12 Mei 2013

Sinetron Kita Kerap Ajari Sesuatu yang Buruk

Masjid mungil di Arosbaya, 30 km utara Bangkalan,
Pulau Madura.

  Teriakkkkkk

Mengapa orang teriak? Makin kerap kita lihat orang berteriak di sekitar kita lima se­pu­luh tahun terakhir ini. Istri tetangga teriak mengingatkan suaminya, "Pak… jangan ma­lam-­­malam ya!" Anak dari atas loteng teriak kepada ibunya, "Ma… la­par!" Demonstran tak kalah seru teriak, "Lawan!!!" Bawahan nyemoni atasannya, "Bos… tanggal tua nich!" Se­kretaris di balik daun pintu malah  teriak manja, "Pak… ach!?!"
Mengapa orang teriak? Sesuatu yang tak la zim di zaman kita kanak-kanak dulu. Me­mang faktor lingkungan bisa menyebabkan seseorang berteriak. Petani tak bisa bicara bi­sik-bisik di ladang mereka. Demikian pula nelayan, atau orang gunung. Suara mereka men­jadi sayup dihembus angin. Mungkin ini sebabnya banyak orang Madura --juga Ma­ka­ssar-- bicara lantang. Sebaliknya, kaum keraton --mereka yang ada di gedongan-- lebih ha­lus bertutur kata.
Tapi sekarang? Tak terbatas mereka yang di ladang dan lautan. Teriakan anak-anak kota tak kalah kencang dibanding mereka yang di gunung. Kaum muda tak tabu lagi bi­cara keras. Kepada istri --yang mestinya disayang--, kepada pimpinan --yang mestinya di­segani--, kepada orangtua --yang mestinya dihormati. Mereka bangsa yang berteriak.
Tak usah sesali, bukankah media kita mengajari begitu? Televisi, radio, koran, bah­kan iklan. Lihat saja sinetron yang tak mendidik. Berita tawuran anggota DPR di ru­ang sidang. Demo mahasiswa yang anarkis. Istri yang memaki suami di iklan obat pikun. Se­muanya silih berganti menjejali benak kita yang sudah kecapekan dalam zaman edan ini!
Kita yang mengelus dada, prihatin melihat orang mudah tersinggung di jalanan. Me­lihat suami/istri menjentrekan aib keluarga di infotaiment. Atasan disuruh turun dalam suatu demonstrasi. Pacar digampar, masuk koran. Orangtua dibunuh beramai-ramai. Duh gusti… beginikah bangsa kita?
Saudaraku. Islam mendidik kita belajar mulai dari lingkungan sendiri. Ling­kung­an keluarga. Kita diminta senantiasa berbuat baik terhadap ibu dan bapak. Janganlah kita me­ngucapkan kata-kata yang menyakitkan hati, terlebih menghardik mereka. Rendahkan di­rimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang. Doakanlah kedua beliau itu.
Tak kurang, Allah yang meminta umat-Nya untuk melakukan kasih sayang dan so­pan santun terhadap ibu bapak, lewat surat Al Israa' (17) ayat 23.
Begitu rincinya Allah meminta kita, bahkan untuk tidak mengatakan kata "ah". Apa artinya? Jangankan kata-kata kasar, lha kata "ah" saja, Allah tidak berkenan! "Se­ka­li-­kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah', dan janganlah kamu mem­bentak mereka…"
            Bayangkan, kata "ah", yang mungkin pernah terlepas dari mulut kita. As­taqfi­ru­llah.
Mari kita berkaca diri. Sudahkah kita berkata lembut dan santun di lingkungan ke­luar­ga? Kalau memang sudah menjadi pola hidup kita keseharian, alhamdulillah. In­sya­Allah, istri kita, anak-anak kita, saudara serta kerabat akan mengikuti langkah yang sama, lang­kah yang diajarkan oleh Allah.
Tentunya ini akan memudahkan kita berlaku lemah lembut dan santun terhadap ling­kungan yang lebih luas. Dengan para tetangga, teman di kantor, kolega pekerjaan, bah­kan masyarakat lainnya.
Ini membutuhkan banyak pengorbanan sebab belum tentu lingkungan tersebut su­dah memahami apa yang dimintakan Allah Sang Percipta. Terlebih godaan terlampau ba­nyak, termasuk teriakan-teriakan kasar suami istri di layar kaca.
Bukan tidak mungkin kita gamang dengan kehidupan di lingkungan demikian. Le­mah lembut bagaimana yang selayaknya kita lakukan, kalau kekasaran-kekasaran men­ja­di sego-jangan dalam kehidupan keseharian? Caci maki bak membudaya, kata-kata pe­das membanjir nyaris tak terkendali.
Lupakanlah itu semua. Mari kita contoh kehidupan Rasulullah yang patut kita ja­di­kan suri tauladan. Tidak bisa dipungkiri, Beliau adalah teladan yang baik, yang me­mi­liki akhlak agung, berbudi pekerti luhur. Rasulullah keras kepada kaum kafir, tapi lemah lem­but terhadap orang beriman. Adalah rahmat Allah, jika kita bisa berlaku lemah lem­but, penuh kasih sayang terhadap sesama orang yang beriman.
Ketika Rasulullah memanjatkan doa, beliau menggunakan kata-kata yang lembut dan merendah. Memohon. Memintakan ampunan. Hal serupa yang beliau lakukan ketika ber­cakap-cakap dengan sesama orang beriman.
Dan Allah meminta kita untuk lebih lembut daripada Rasulullah. Janganlah kita bi­cara lebih keras melebihi suara Nabi (Al Hujuraat/49 ayat 2).
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi…"
Tidakkah jelas disini, Allah tidak menyukai orang beriman berteriak-teriak?
 "Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, me­re­ka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertaqwa. Bagi me­re­ka, ampunan dan pahala yang besar."
Bayangkan, kita bisa mendapat pengampunan dengan berkata lembut. Mendapat pa­hala jika tidak berteriak. Betapa sesuatu yang seharusnya bisa kita lakukan, akan hilang be­gitu saja ketika kita lepas kesempatan tersebut. Ketika kita berteriak-teriak. Ketika kita ka­sar terhadap orang tua. Ketika kita marah-marah bak orang kesurupan.
Sebenarnya Allah menghendaki umat-Nya berbicara dengan nada yang baik, bah­kan lemah lembut sangatlah diutamakan. Allahlah yang mengajar  manusia pandai ber­bi­ca­ra (Ar Rahman 4), tapi Allah juga yang memerintah kita untuk bicara dengan lemah lem­but. (Surat Luqman/31 ayat 19)
"…dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara ke­le­dai."
Kita tahu kan bagaimana itu keledai…?

Allah juga melarang kita melontarkan ucapan-ucapan buruk, apalagi disampaikan se­cara terus terang (lihatlah sinetron kita, apakah itu pelajaran baik bagi anak-anak kita?) Dan hendaknya kita pun memberi salam dengan cara yang baik (ah…kita rindu dengan tu­tur kata sederhana dari orang-orang di desa sana).
Izinkanlah saya memanjatkan doa, semoga Allah mengampuni perbuatan kita se­la­ma ini --karena mungkin kita khilaf, atau belum tahu. Semoga Allah menjadikan kita umat Rasulullah Muhammad SAW yang mengikuti jejak-jejak beliau, dan bisa menjalani si­sa hidup ini melalui tutur kata penuh kelembutan. Ya Allah, sekali lagi ampunilah ham­bamu ini. Amin. (H. Syahrul B. Hidayat)



Catatan kaki:  Sesungguhnya Allah itu dekat. Allah mengabulkan doa orang yang berdoa kepada-Nya. Sebaiknya kita memperhatikan adabnya, yaitu merendahkan diri dengan suara yang lembut, dan dengan rasa takut penuh harap, jangan mengeraskan suara/ucapanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar